Rabu, 28 Desember 2011

Pendidikan agama


                                                                   Pendidikan Agama

Ketika saya menghadiri pertemuan pendidikan katolik di Beirut, bertemu dengan rekan-rekan dari Mesir, Yordania, Palestina dan beberapa negara Timur Tengah lainnya. Dari mereka saya memperoleh informasi bahwa pendidikan agama tidak diajarkan di sekolah melainkan diselenggarakan oleh pengurus agama masing-masing bekerjasama dengan orangtua peserta didik dan diajarkan di luar sekolah.

Saat ini sedang marak pro-kontra masalah pendidikan agama di sekolah menurut agama peserta didik dan diajarkan oleh guru agama yang seagama dengan peserta didik. Secara prinsip hal itu mudah dikatakan dan dilaksanakan jika di dalam satu kelas hanya terdiri dari dua kelompok agama peserta didik, tetapi jika dalam satu kelas ada 5 (lima) agama peserta didik, saya membayangkan betapa sulitnya untuk mengatur jadwal dan tempat, jika hal itu dilaksanakan di sekolah. Mengapa?
    1) mencermati sekolah-sekolah saat ini hampir semua ruang/kelas sudah dimanfaatkan untuk kegiatan belajar mengajar, bahkan ada sekolah yang kurang ruangan.
    2) jika dalam satu kelas ada 5 (agama) peserta didik: Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Budha..kapan waktu pengajaran dapat dilaksanakan? Dalam waktu yang sama? Dimana dan bagaimana pembagian tempatnya? Dalam waktu yang berbeda? bagaimana pengaturan jam/waktunya? Ingat jatah jam pelajaran agama ada 2 jam mata pelajaran. Atau di suatu sekolah , katakan di SD atau SMP, para peserta didik dari kelas terendah sampai kelas tertinggi dikumpulkan menurut agama masing-masing dan diajarkan agama sesuai dengan agamanya dan oleh guru agama yang seagama? Apakah hal ini tidak akan menjadi kesulitan bagi guru agama ybs..?
Dalam tulisan ini saya hanya ingin memperlihatkan betapa sulitnya pengaturan waktu dan tempat jika pelajaran agama diajarkan menurut agama masing-masing dan di sekolah yang bersangkutan ada 5 (lima) agama . Sebagai contoh di sekolah negeri saat ini yang mayoritas adalah peserta didik agama Islam, untuk para peserta didik yang beragama katolik atau kristen diberi kesempatan pada hari Jum'at, dimana sementara rekan-rekan yang beragama Islam sedang berdoa di masjid..apa yang terjadi: mereka (para peserta didik yang beragama Katolik atau kristen) memperoleh ruangan yang tidak memadai, karena memang yang ada katanya hanya ruangan itu.

Hemat kami: jika pendidikan agama peserta didik harus diajarkan sesuai dengan agama yang peserta didik yang bersangkutan dan oleh guru agama yang seagama peserta didik...kegiatan ini tidak dilaksanakan di sekolah melainkan di "masjid, gereja dst..", dengan kata lain pendidikan agama menjadi tanggungjawab orangtau dan pengurus agama yang bersangkutan, bukan tugas sekolah.

Dengan demikian pendidikan yang diselenggarakan di sekolah sungguh murni untuk mencerdaskan peserta didik. Sekali lagi ingat ada aneka kecerdasan: kecerdasan intelektual, kecerdasan phisik, kecerdasan emosional, kecerdasan sosial, kecerdasan spiritual dst.

Sejarah Bank Indonesia


SEJARAH BANK INDONESIA

Sebelum kedatangan bangsa barat, nusantara telah berkembang menjadi wilayah perdagangan internasional. Pada saat itu terdapat dua jalur perniagaan internasional yang digunakan oleh para pedagang, jalur darat dan jalur laut. Pada masa itu telah terdapat dua kerajaan utama di nusantara yang mempunyai andil besar dalam meramaikan perniagaan internasional, yaitu Sriwijaya dan Majapahit. Dalam maraknya perniagaan tersebut belum ada mata uang baku yang dijadikan nilai standar. Meskipun masyarakat telah mengenal mata uang dalam bentuk sederhana.
Sementara itu pada abad ke-15 bangsa-bangsa Eropa sedang berupaya memperluas wilayah penjelajahannya di berbagai belahan dunia, termasuk Asia dan Nusantara. sejak jatuhnya Konstantinopel ke tangan kekuasaan Turki Usmani (1453), penjelajahan tersebut dipelopori oleh Spanyol dan Portugis yang kemudian diikuti oleh Belanda, Inggris, dan Perancis. Kegiatan penjelajahan tersebut telah mendorong munculnya paham merkantilisme di Eropa pada abad ke 16–17.
Selanjutnya pada akhir abad ke-18 revolusi industri telah berlangsung di Eropa. Kegiatan industri berkembang dan hasil produksi meningkat sehingga mendorong kegiatan ekspor ke wilayah Asia dan Amerika. Pesatnya perdagangan di Eropa memicu tumbuhnya lembaga pemberi jasa keuangan yang merupakan cikal-bakal lembaga perbankan modern, antara lain seperti Bank van Leening di Belanda. Kemudian secara bertahap bank-bank tertentu di wilayah Eropa seperti Bank of England (1773), Riskbank (1809), Bank of France (1800) berkembang menjadi bank sentral.
Munculnya Malaka sebagai emporium perdagangan telah menarik perhatian bangsa Portugis yang akhirnya pada 1511 berhasil menguasai Malaka. Mereka terus bergerak ke arah timur menuju sumber rempah-rempah di Maluku. Di sana Portugis menghadapi bangsa Spanyol yang datang melalui Filipina. Beberapa saat kemudian bangsa Belanda juga berusaha menguasai sumber-sumber komoditi perdagangan di Jawa dan Nusantara. Dengan mengibarkan bendera VOC yaitu perusahaan induk penghimpun perusahaan-perusahaan dagang Belanda, mereka mengukuhkan kekuasaanya di Batavia pada 1619. Untuk memperlancar dan mempermudah aktivitas perdagangan VOC di Nusantara, pada 1746 didirikan De Bank van Leening dan kemudian berubah menjadi De Bank Courant en Bank van Leening pada 1752. Bank van Leening merupakan bank pertama yang beroperasi di Nusantara. Pada akhir abad ke-18, VOC telah mengalami kemunduran, bahkan kebangkrutan. Maka kekuasaan VOC di nusantara diambil alih oleh pemerintah Kerajaan Belanda. Setelah masa pemerintahan Herman William Daendels dan Janssen, Hindia Timur akhirnya jatuh ke tangan Inggris.
Ratu Inggris mengutus Sir Thomas Stamford Raffles untuk memerintah Hindia Timur. Tetapi pemerintahan Raffles tidak bertahan lama, karena setelah usainya perang melawan Perancis (Napoleon) di Eropa, Inggris dan Belanda membuat kesepakatan bahwa semua wilayah Hindia Timur diserahkan kembali kepada Belanda. Sejak saat itu Hindia Timur disebut sebagai Hindia Belanda (Nederland Indie) dan diperintah oleh Komisaris Jenderal (1815–1819) yang terdiri dari Elout, Buyskes, dan van der Capellen. Pada periode inilah berbagai perbaikan ekonomi mulai dilaksanakan di Hindia Belanda. Hingga nantinya Du Bus menyiapkan beberapa kebijakan yang mempersiapkan didirikannya De Javasche Bank pada 1828.
Perkembangan II.
Gagasan pembentukan bank sirkulasi untuk Hindia Belanda dicetuskan menjelang keberangkatan Komisaris Jenderal Hindia Belanda Mr. C.T. Elout ke Hindia Belanda. Kondisi keuangan di Hindia Belanda dianggap telah memerlukan penertiban dan pengaturan sistem pembayaran dalam bentuk lembaga bank. Pada saat yang sama kalangan pengusaha di Batavia, Hindia Belanda, telah mendesak didirikannya lembaga bank guna memenuhi kepentingan bisnis mereka. Meskipun demikian gagasan tersebut baru mulai diwujudkan ketika Raja Willem I menerbitkan Surat Kuasa kepada Komisaris Jenderal Hindia Belanda pada 9 Desember 1826. Surat tersebut memberikan wewenang kepada pemerintah Hindia Belanda untuk membentuk suatu bank berdasarkan wewenang khusus berjangka waktu, atau lazim disebut oktroi.
Dengan surat kuasa tersebut, pemerintah Hindia Belanda mulai mempersiapkan berdirinya DJB. Pada 11 Desember 1827, Komisaris Jenderal Hindia Belanda Leonard Pierre Joseph Burggraaf Du Bus de Gisignies mengeluarkan Surat Keputusan No. 28 tentang oktroi dan ketentuan-ketentuan mengenai DJB. Kemudian pada 24 Januari 1828 dengan Surat Keputusan Komisaris Jenderal Hindia Belanda No. 25 ditetapkan akte pendirian De Javasche Bank (DJB). Pada saat yang sama juga diangkat Mr. C. de Haan sebagai Presiden DJB dan C.J. Smulders sebagai sekretaris DJB.
Oktroi merupakan ketentuan dan pedoman bagi DJB dalam menjalankan usahanya. Oktroi DJB pertama berlaku selama 10 tahun sejak 1 Januari 1828 sampai 31 Desember 1837 dan diperpanjang sampai dengan 31 Maret 1838. Pada periode oktroi keenam, DJB melakukan pembaharuan akte pendiriannya di hadapan notaris Derk Bodde di Jakarta pada 22 Maret 1881. Sesuai dengan akte baru DJB, status bank diubah menjadi Naamlooze Vennootschap (N.V.). Dengan perubahan akte tersebut, DJB dianggap sebagai perusahaan baru. Oktroi kedelapan adalah oktroi DJB terakhir hingga berlakunya DJB Wet pada 1922. Pada periode oktroi terakhir ini, DJB banyak mengeluarkan ketentuan baru dalam bidang sistem pembayaran yang mengarah kepada perbaikan bagi lalu lintas pembayaran di Hindia Belanda. Oktroi kedelapan berakhir hingga 31 Maret 1921 dan hanya diperpanjang selama satu tahun sampai dengan 31 Maret 1922.
Perkembanngan III..
Pada 31 Maret 1922 diundangkan De Javasche Bankwet 1922 (DJB Wet). Bankwet 1922 ini kemudian diubah dan ditambah dengan UU tanggal 30 April 1927 serta UU 13 November 1930. Pada dasarnya De Javasche Bankwet 1922 adalah perpanjangan dari oktroi kedelapan DJB yang berlaku sebelumnya. Masa berlaku Bankwet 1922 adalah 15 tahun ditambah dengan perpanjangan otomatis satu tahun, selama tidak ada pembatalan oleh gubernur jenderal atau pihak direksi. Pimpinan DJB pada periode DJB Wet adalah direksi yang terdiri dari seorang presiden dan sekurang-kurangnya dua direktur, satu di antaranya adalah sekretaris. Selain itu terdapat jabatan presiden pengganti I, presiden pengganti II, direktur pengganti I, dan direktur pengganti II. Penetapan jumlah direktur ditentukan oleh rapat bersama antara direksi dan dewan komisaris. Pada periode ini DJB terdiri atas tujuh bagian, di antaranya bagian ekonomi statistik, sekretaris, bagian wesel, bagian produksi, dan bagian efek-efek.
Pada periode ini DJB berkembang pesat dengan 16 kantor cabang, antara lain: Bandung, Cirebon, Semarang, Yogyakarta, Surakarta, Surabaya, Malang, Kediri, Kutaraja, Medan, Padang, Palembang, Banjarmasin, Pontianak, Makassar, dan Manado, serta kantor perwakilan di Amsterdam, dan New York. DJB Wet ini terus berlaku sebagai landasan operasional DJB hingga lahirnya Undang-undang Pokok Bank Indonesia 1 Juli 1953.
Perkembangan IV
Pecahnya Perang Dunia II di Eropa terus menjalar hingga ke wilayah Asia Pasifik. Militer Jepang segera melebarkan wilayah invasinya dari daratan Asia menuju Asia Tenggara. Menjelang kedatangan Jepang di Pulau Jawa, Presiden DJB, Dr. G.G. van Buttingha Wichers, berhasil memindahkan semua cadangan emasnya ke Australia dan Afrika Selatan. Pemindahan tersebut dilakukan lewat pelabuhan Cilacap. Setelah menduduki Pulau Jawa pada bulan Februari-Maret 1942, tentara Jepang memaksa penyerahan seluruh aset bank kepada mereka. Selanjutnya, pada bulan April 1942, diumumkan suatu banking-moratorium tentang adanya penangguhan pembayaran kewajiban-kewajiban bank. Beberapa bulan kemudian, pimpinan tentara Jepang untuk Pulau Jawa, yang berada di Jakarta, mengeluarkan ordonansi berupa perintah likuidasi untuk seluruh bank Belanda, Inggris, dan beberapa bank Cina. Ordonansi serupa juga dikeluarkan oleh komando militer Jepang di Singapura untuk bank-bank di Sumatera, sedangkan kewenangan likuidasi bank-bank di Kalimantan dan Great East diberikan kepada Navy Ministry di Tokyo.
Fungsi dan tugas bank-bank yang dilikuidasi tersebut, kemudian diambil alih oleh bank-bank Jepang, seperti Yokohama Specie Bank, Taiwan Bank, dan Mitsui Bank, yang pernah ada sebelumnya dan ditutup oleh Belanda ketika mulai pecah perang. Sebagai bank sirkulasi di Pulau Jawa, dibentuklah Nanpo Kaihatsu Ginko yang melanjutkan tugas tentara pendudukan Jepang dalam mengedarkan invansion money yang dicetak di Jepang dalam tujuh denominasi, mulai dari satu hingga sepuluh gulden. Sampai pertengahan bulan Agustus 1945, telah diedarkan invansion money senilai 2,4 milyar gulden di Pulau Jawa, 1,4 milyar gulden di Sumatera, serta dalam nilai yang lebih kecil di Kalimantan dan Sulawesi. Sejak tanggal 15 Agustus 1945, juga masuk dalam peredaran senilai 2 milyar gulden, yang sebagian berasal dari uang yang ditarik dari bank-bank Jepang di Sumatera serta sebagian lagi dicuri dari De Javasche Bank Surabaya dan beberapa tempat lainnya. Hingga bulan Maret 1946, jumlah uang yang beredar di wilayah Hindia Belanda berjumlah sekitar delapan milyar gulden. Hal tersebut menimbulkan hancurnya nilai mata uang dan memperberat beban ekonomi wilayah Hindia Belanda.
Perkembangan V.
Setelah Jepang menyerah pada 15 Agustus 1945, Indonesia segera memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Keesokan harinya, pada 18 Agustus 1945 telah disusun Undang-Undang Dasar 1945. Dalam penjelasan UUD 1945 Bab VIII pasal 23 Hal Keuangan yang menyatakan cita-cita membentuk bank sentral dengan nama Bank Indonesia untuk memperkuat adanya kesatuan wilayah dan kesatuan ekonomi-moneter. Sementara itu dengan membonceng tentara Sekutu, Belanda kembali mencoba menduduki wilayah yang pernah dijajahnya. Maka dalam wilayah Indonesia terdapat dua pemerintahan yaitu: pemerintahan Republik Indonesia dan pemerintahan Belanda atau Nederlandsche Indische Civil Administrative (NICA). Selanjutnya NICA membuka akses kantor-kantor pusat Bank Jepang di Jakarta dan menugaskan DJB menjadi bank sirkulasi mengambil alih peran Nanpo Kaihatsu Ginko. Tidak lama kemudian DJB berhasil membuka sembilan cabangnya di wilayah-wilayah yang dikuasai oleh NICA. Pembukaan cabang-cabang DJB terus berlanjut seiring dengan dua agresi militer yang dilancarkan Belanda kepada Indonesia. Sementara itu di wilayah yang dikuasai oleh Republik Indonesia, dibentuk Jajasan Poesat Bank Indonesia (Yayasan Bank Indonesia) yang kemudian melebur dalam Bank Negara Indonesia sebagai bank sirkulasi berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.2/1946. Namun demikian situasi perang kemerdekaan dan terbatasnya pengakuan dunia sangat menghambat peran BNI sebagai bank sirkulasi. Namun demikian pada 30 Oktober 1946, pemerintah dapat menerbitkan Oeang Repoeblik Indonesia (ORI) sebagai uang pertama Republik Indonesia. Periode ini ditutup dengan Konferensi Meja Bundar (KMB) 1949 yang memutuskan DJB sebagai bank sirkulasi untuk Republik Indonesia Serikat (RIS) dan Bank Negara Indonesia sebagai bank pembangunan.
Perkembangan VI.
Pada Desember 1949, Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia sebagai bagian dari Republik Indonesia Serikat (RIS). Pada saat itu, sesuai dengan keputusan Konferensi Meja Bundar (KMB), fungsi bank sentral tetap dipercayakan kepada De Javasche Bank (DJB). Pemerintahan RIS tidak berlangsung lama, karena pada tanggal 17 Agustus 1950, pemerintah RIS dibubarkan dan Indonesia kembali ke bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pada saat itu, kedudukan DJB tetap sebagai bank sirkulasi. Berakhirnya kesepakatan KMB ternyata telah mengobarkan semangat kebangsaan yang terwujud melalui gerakan nasionalisasi perekonomian Indonesia. Nasionalisasi pertama dilaksanakan terhadap DJB sebagai bank sirkulasi yang mempunyai peranan penting dalam menggerakkan roda perekonomian Indonesia. Sejak berlakunya Undang-undang Pokok Bank Indonesia pada tanggal 1 Juli 1953, bangsa Indonesia telah memiliki sebuah lembaga bank sentral dengan nama Bank Indonesia.
Sebelum berdirinya Bank Indonesia, kebijakan moneter, perbankan, dan sistem pembayaran berada di tangan pemerintah. Dengan menanggung beban berat perekonomian negara pasca perang, kebijakan moneter Indonesia ditekankan pada peningkatan posisi cadangan devisa dan menahan laju inflasi. Sementara itu, pada periode ini, pemerintah terus berusaha memperkuat sistem perbankan Indonesia melalui pendirian bank-bank baru. Sebagai bank sirkulasi, DJB turut berperan aktif dalam mengembangkan sistem perbankan nasional terutama dalam penyediaan dana kegiatan perbankan. Banyaknya jenis mata uang yang beredar memaksa pemerintah melakukan penyeragaman mata uang. Maka, meski hanya untuk waktu yang singkat, pemerintah mengeluarkan uang kertas RIS yang menggantikan Oeang Republik Indonesia dan berbagai jenis uang lainnya. Akhirnya, setelah sekian lama berlaku sebagai acuan hukum pengedaran uang di Indonesia, Indische Muntwet 1912 diganti dengan aturan baru yang dikenal dengan Undang-undang Mata Uang 1951.

Cara Pria Merawat Tubuh


Cara Pria Merawat Diri

BUKAN cerita baru jika kaum lelaki kini mulai memerhatikan penampilan mereka. Perawatan pria sudah dimulai oleh Julius Caesar yang telaten merawat tubuhnya.

Perawatan tubuh untuk pria kini tidak hanya terbatas pada pembentukan tubuh, seperti membentuk perut six pack atau lengan berotot. Kini tren perawatan ala kaum adam sudah merambah ke perawatan kulit agar lembut. Pria metroseksual. Itulah sebutan yang biasanya ditujukan pada kaum adam yang gemar merawat tubuhnya.

Malah tak hanya sebatas merawat kulit dengan berbagai produk yang khusus untuk pria, kini para pria pun tak sungkan-sungkan untuk melakukan perawatan di salon- salon kecantikan. Mulai creambath hingga spa. Spa bukan milik kaum hawa, pria pun boleh melakukannya. Meski perawatan yang dilakukan tidaklah sama. Peredaran darah menjadi lancar, kulit bersih, badan pun bugar dan segar.

Ganjen? Bukan! Coba tanya pasangan Anda. mereka pasti lebih suka melihat cowoknya bersih dan tidak berbau ketimbang cowok dekil. Beberapa tahun terakhir ini, House of Ristra mengalami peningkatan dalam menerima pasien lelaki. "Berbanding 2 per 3. Problem mereka macam-macam, mulai keluhan seputar jerawat atau ada juga yang peduli pada pigmentasi dan flek," ungkap dr Sri Hartanti, dokter dari House of Ristra Menteng.

Mereka yang datang berasal dari berbagai kalangan. Memang kebanyakan merupakan pekerja kantoran dengan jam kerja tinggi. Mereka juga dituntut senantiasa tampil prima demi menjaga image pribadi juga perusahaan. Jadi, omongan bahwa perawatan kulit hanya berlaku untuk para esmud (eksekutif muda), ada benarnya.

Namun, sadarkah Anda kaum lelaki, pekerja luar ruangan justru lebih membutuhkan perawatan. Karena berinteraksi dengan matahari, debu, dan polusi. Belum lagi gaya hidup yang tidak sehat, makan sembarang dan merokok.

Sebelumnya, mari mengenal struktur kulit lelaki. Menurut dokter Tanti, tidak ada perbedaan signifikan antara struktur kulit lelaki dan wanita. "Sebenarnya pada prinsipnya kulit wanita dan pria itu sama. karena anatomi kulit manusia sama, terdiri atas epidermis, dermis, dan hipodermin. Organ di dalamnya juga sama. Cuma bedanya ada pada soal hormonal. Pada pria lebih ke hormon androgen, inilah yang merangsang kelenjar minyak lebih aktif," jelas dokter lulusan Universitas Trisakti ini.

Dengan begitu, wajah lelaki memang lebih oily (berminyak) ketimbang wanita. Hormon estrogen yang ada di tubuh wanita pun membantu penghalusan kulit mereka. Keratinisasi pada lelaki cenderung lebih cepat, maka kulit mereka pun lebih kasar dan tebal. Klasifikasi kosmetik bagi kaum lelaki dan wanita dilihat dari kondisi kulit. Buat lelaki biasanya lebih oil free, atau tidak memancing keluarnya minyak. Kulit normal, tidak berminyak tentunya menjadi cikal bakal kulit sehat.

"Biasanya lelaki pun hanya menggunakan sabun pembersih. Ini saja sudah cukup karena lelaki kan tidak menggunakan make up. Bisa ditambahkan juga dengan scrub untuk mengangkat sel kulit mati, hingga kulit terlihat lebih cerah," ulas dokter Tanti.

Radiasi sinar matahari pun ditangkal dengan penggunaan moisturizer juga tabir surya. Jenis kosmetik ini masih tergolong netral dan basic. Ristra sendiri memiliki beberapa produk moisturizer yang terbagi berdasarkan usia. Biasanya lelaki berusia di atas 30 tahun sudah mulai memakai pelembap

Selasa, 27 Desember 2011

sejarah berdirinya KPK


Sejarah KPK (komisi pemberantasan korupsi)

Pertama kali di bentuk tahun 2003, dengan maksud menaggulangi,mengatasi dan memberantas koupsi di Indonesia. Komisi ini didirikan berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 tahun 2002.
Untuk mengetahui lebih dalan terbentuknya KPK ini, maka kita harus melihat ke belakang,(sumber: Sejarah KPK, Wikipedia Indonesia).

Orde Lama

Kabinet Djuanda

Di masa Orde Lama, tercatat dua kali dibentuk badan pemberantasan korupsi. Yang pertama, dengan perangkat aturan Undang-Undang Keadaan Bahaya, lembaga ini disebut Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran). Badan ini dipimpin oleh A.H. Nasutiondan dibantu oleh dua orang anggota, yakni Profesor M. Yamin dan Roeslan Abdulgani. Kepada Paran inilah semua pejabat harus menyampaikan data mengenai pejabat tersebut dalam bentuk isian formulir yang disediakan. Mudah ditebak, model perlawanan para pejabat yang korup pada saat itu adalah bereaksi keras dengan dalih yuridis bahwa dengan doktrin pertanggungjawaban secara langsung kepada Presiden, formulir itu tidak diserahkan kepada Paran, tapi langsung kepada Presiden. Diimbuhi dengan kekacauan politik, Paran berakhir tragis, deadlock, dan akhirnya menyerahkan kembali pelaksanaan tugasnya kepadaKabinet Djuanda.


Operasi Budhi

Pada 1963, melalui Keputusan Presiden No. 275 Tahun 1963, pemerintah menunjuk lagi A.H. Nasution, yang saat itu menjabat sebagai Menteri Koordinator Pertahanan dan Keamanan/Kasab, dibantu olehWiryono Prodjodikusumo dengan lembaga baru yang lebih dikenal dengan Operasi Budhi. Kali ini dengan tugas yang lebih berat, yakni menyeret pelaku korupsi ke pengadilan dengan sasaran utama perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga negara lainnya yang dianggap rawan praktek korupsi dan kolusi.
Lagi-lagi alasan politis menyebabkan kemandekan, seperti Direktur Utama Pertamina yang tugas ke luar negeri dan direksi lainnya menolak karena belum ada surat tugas dari atasan, menjadi penghalang efektivitas lembaga ini. Operasi ini juga berakhir, meski berhasil menyelamatkan keuangan negara kurang-lebih Rp 11 miliar. Operasi Budhi ini dihentikan dengan pengumuman pembubarannya oleh Soebandriokemudian diganti menjadi Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi (Kontrar) dengan PresidenSoekarno menjadi ketuanya serta dibantu olehSoebandrio dan Letjen Ahmad Yani. Bohari pada tahun2001 mencatatkan bahwa seiring dengan lahirnya lembaga ini, pemberantasan korupsi di masa Orde Lama pun kembali masuk ke jalur lambat, bahkan macet.

 Orde Baru

Pada masa awal Orde Baru, melalui pidato kenegaraan pada 16 Agustus 1967, Soeharto terang-terangan mengkritik Orde Lama, yang tidak mampu memberantas korupsi dalam hubungan dengan demokrasi yang terpusat ke istana. Pidato itu seakan memberi harapan besar seiring dengan dibentuknya Tim Pemberantasan Korupsi (TPK), yang diketuai Jaksa Agung. Namun, ternyata ketidakseriusan TPK mulai dipertanyakan dan berujung pada kebijakan Soeharto untuk menunjukKomite Empat beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa, seperti Prof Johannes,I.J. Kasimo, Mr Wilopo, dan A. Tjokroaminoto, dengan tugas utama membersihkan Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT Mantrust, Telkom, Pertamina, dan lain-lain.
Empat tokoh bersih ini jadi tanpa taji ketika hasil temuan atas kasus korupsi di Pertamina, misalnya, sama sekali tidak digubris oleh pemerintah. Lemahnya posisi komite ini pun menjadi alasan utama. Kemudian, ketika Laksamana Sudomo diangkat sebagaiPangkopkamtib, dibentuklah Operasi Tertib (Opstib) dengan tugas antara lain juga memberantas korupsi. Perselisihan pendapat mengenai metode pemberantasan korupsi yang bottom up atau top downdi kalangan pemberantas korupsi itu sendiri cenderung semakin melemahkan pemberantasan korupsi, sehingga Opstib pun hilang seiring dengan makin menguatnya kedudukan para koruptor di singgasana Orde Baru.begitu...............

 Era Reformasi

Di era reformasi, usaha pemberantasan korupsi dimulai oleh B.J. Habibie dengan mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme berikut pembentukan berbagai komisi atau badan baru, seperti Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara(KPKPN), KPPU, atau Lembaga Ombudsman. Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid, membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi(TGPTPK) melalui Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000. Namun, di tengah semangat menggebu-gebu untuk memberantas korupsi dari anggota tim ini, melalui suatu judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK akhirnya dibubarkan dengan logika membenturkannya ke UU Nomor 31 Tahun 1999. Nasib serupa tapi tak sama dialami oleh KPKPN, dengan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi, tugas KPKPN melebur masuk ke dalam KPK, sehingga KPKPN sendiri hilang dan menguap. Artinya, KPK-lah lembaga pemberantasan korupsi terbaru yang masih eksis.[1]

 KPK di bawah Taufiequrachman Ruki (2003-2007)

Pada tanggal 16 Desember 2003, Taufiequrachman Ruki, seorang alumni Akademi Kepolisian (Akpol) 1971, dilantik menjadi Ketua KPK. Di bawah kepemimpinan Taufiequrachman Ruki, KPK hendak memposisikan dirinya sebagai katalisator (pemicu) bagi aparat dan institusi lain untuk terciptanya jalannya sebuah "good and clean governance" (pemerintahan baik dan bersih) di Republik Indonesia. Sebagai seorang mantan Anggota DPR RI dari tahun 1992 sampai 2001, Taufiequrachman walaupun konsisten mendapat kritik dari berbagai pihak tentang dugaan tebang pilih pemberantasan korupsi.
Menurut Taufiequrachman Ruki, pemberantasan korupsi tidak hanya mengenai bagaimana menangkap dan memidanakan pelaku tindak pidana korupsi, tapi juga bagaimana mencegah tindak pidana korupsi agar tidak terulang pada masa yang akan datang melalui pendidikan antikorupsi, kampanye antikorupsi dan adanya contoh "island of integrity" (daerah contoh yang bebas korupsi).
Pernyataan Taufiequrachman mengacu pada definisi korupsi yang dinyatakan dalam UU No. 31 Tahun 1999jo UU No. 20 Tahun 2001. Menurutnya, tindakan preventif (pencegahan) dan represif (pengekangan) ini dilakukan dengan "memposisikan KPK sebagai katalisator (trigger) bagi aparat atau institusi lain agar tercipta good and clean governance dengan pilar utama transparansi, partisipasi dan akuntabilitas".
Taufiequrachman mengemukakan data hasil surveiTransparency Internasional mengenai penilaian masyarakat bisnis dunia terhadap pelayanan publik di Indonesia. Hasil survei itu memberikan nilai IPK (Indeks Persepsi Korupsi) sebesar 2,2 kepada Indonesia. Nilai tersebut menempatkan Indonesia pada urutan 137 dari 159 negara tersurvei. Survei Transparency International Indonesia berkesimpulan bahwa lembaga yang harus dibersihkan menurut responden, adalah: lembaga peradilan (27%), perpajakan (17%), kepolisian (11%), DPRD (10%), kementerian/departemen (9%), bea dan cukai (7%), BUMN (5%), lembaga pendidikan (4%), perijinan (3%), dan pekerjaan umum (2%).
Lebih lanjut disampaikan, survei terbaru Transparency International yaitu "Barometer Korupsi Global", menempatkan partai politik di Indonesia sebagai institusi terkorup dengan nilai 4,2 (dengan rentang penilaian 1-5, 5 untuk yang terkorup). Masih berangkat dari data tersebut, di Asia, Indonesia menduduki prestasi sebagai negara terkorup dengan skor 9.25 (terkorup 10) di atas India (8,9), Vietnam (8,67), Filipina(8,33) dan Thailand (7,33).
Dengan adanya data tersebut, terukur bahwa keberadaan korupsi di Indonesia telah membudaya baik secara sistemik dan endemik. Maka Taufiequrachman berasumsi bahwa kunci utama dalam pemberantasan korupsi adalah integritas yang akan mencegah manusia dari perbuatan tercela, entah itu "corruption by needs" (korupsi karena kebutuhan), "corruption by greeds" (korupsi karena keserakahan) atau "corruption by opportunities" (korupsi karena kesempatan). Taufiequrachman juga menyampaikan bahwa pembudayaan etika dan integritas antikorupsi harus melalui proses yang tidak mudah, sehingga dibutuhkan adanya peran pemimpin sebagai teladan dengan melibatkan institusi keluarga, pemerintah, organisasi masyarakat dan organisasi bisnis.
Pada tahun 2007 Taufiequrachman Ruki digantikan olehAntasari Azhar sebagai Ketua KPK.
Dan sekarang anda tahu sendiri Antasari Azhar berada ditahanan dalam kasus pembunuhan.
Bagaimana nasib KPK selanjutnya? Mungkin anda dan Saya mempunyai harapan yang sama "terus maju" demi rakyat Indonesia yang saya cintai ini.

Jumat, 01 April 2011

makalah wawasan nusantara

PERSENGKETAAN DAERAH PERBATASAN
KAITANNYA DENGAN KONSEP DAN IMPLEMENTASI
WAWASAN NUSANTARA




STKIP ASLI
 














      MAKALAH

Di susun dan di ajukan sebagai tugas terstruktur
Mata Kuliah          : Pendidikan Kewarganegaraan
Dosen Pengampu  : Aqib Ardiansyah. S.pd

Oleh        :
AHMAD KHAKAM SHIDQI HS.
(40210042)

Program Study :

PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR






SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
(STKIP) ISLAM
BUMIAYU
2011

Daftar Isi

JUDUL………………………………………………………………………            1
DAFTAR ISI……………………………………………………………….. .           2

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH……………………………………..   .           3
B. RUMUSAN MASALAH…………………………………………………            4

BAB II
PEMBAHASAN
A.     Pengertian dan Sejarah singkat Wawasan Nasional……………………..    5
B.     Kaitan kasus Ambalat dengan Wawasan Nasional………………………   5
C.     Hikmah dan Solusi kasus Ambalat kaitannya dengan Implementasi Wawasan Nusantara…………………………………………………………………           11

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN……………………………………………………………          12
B. KRITIK DAN SARAN……………………………………………………           16

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………          17
           



















BAB I
PENDAHULUAN

  1. LATAR BELAKANG MASALAH
Masalah perbatasan wilayah erat kaitannya dengan pemahaman dan pelaksanaan konsepsi wawasan nusantara. Akhir-akhir ini makin marak berita yang menayangkan berbagai persengketaan wilayah antar Negara, mulai dari persengkataan wilayah oleh palestina dan Israel yang belum juga menemukan titik pemecahan sampai detik ini sampai masalah yang terjadi di wilayah Nusantara sendiri. Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan dengan pulau-pulau besar dan ribuan pulau kecil, dan letaknya yang di antara dua benua dan dua samudra sangat rawan dengan akan adanya masalah perbatasan ini. Masalah perbatasan sudah 2 kali terjadi antara Indonesia dan Malaysia yaitu yang pertama persengketaan mengenai wilayah Sipadan dan Ligitan yang berujung dengan kemenangan oleh pihak Malaysia, dan kasus yang terbaru mengenai persengketaan atas wilayah Ambalat. Sebelum membahas mengenai perbatasan Ambalat dan kaitannya dengan konsep serta implementasi wawasan nusntara, ada baiknya  kita kilas balik mengenai masalah Sipadan dan Ligitan sebagai acuan untuk masalah ini.
Mahkamah Internasional telah memutuskan bahwa Malaysia memiliki kedaulatan atas Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan berdasarkan pertimbangan “effectivitee”, yaitu bahwa Pemerintah Inggris telah melakukan tindakan administratif secara nyata sebagai wujud kedaulatannya berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu sejak 1930-an, dan operasi mercu suar sejak awal 1960-an. Sementara itu kegiatan pariwisata yang dilakukan Malaysia hampir 15 tahun terakhir tidak menjadi faktor pertimbangan. Pada pihak lain, Mahkamah menolak argumentasi Indonesia yang bersandar pada Konvensi 1891 yang dinilai hanya mengatur perbatasan darat dari kedua negara di Kalimantan. Garis paralel 4ยบ 10' Lintang Utara ditafsirkan hanya menjorok ke laut sejauh 3 mil dari titik pantai timur Pulau Sebatik sesuai ketentuan hukum laut internasional pada waktu itu yang menetapkan laut wilayah sejauh 3 mil. Sebaliknya, Mahkamah juga menolaak argumentasi Malaysia mengenai perolehan kepemilikan atas kedua pulau tersebut berdasarkan “chain of title” (rangkaian kepemilikan dari Sultan Sulu).
Hampir tidak dapat dielakkan adanya rasa kecewa yang mendalam bahwa upaya maksimal yang dilakukan oleh empat pemerintahan Indonesia sejak tahun 1997 ternyata tidak membuahkan hasil seperti yang kita harapkan bersama.
            Suatu fakta penting yang perlu kita ketahui adalah UU No. 4 Tahun 1960 yang memuat peta Wawasan Nusantara kita dimana ditarik dengan garis pangkal yang menghubungkan titik terluar dari pulau-pulau terluar yang dimiliki Indonesia, kedua pulau Sipadan dan Ligitan berada diluar peta tersebut. Sementara itu perlu juga dicatat bahwa pihak Malaysia juga tidak memuat kedua pulau tersebut dalam peta-peta mereka hingga tahun 1979. Namun kita berkewajiban untuk menghormati Persetujuan Khusus untuk bersama-sama mengajukan sengketa antara Indonesia dan Malaysia tentang kedaulatan atas Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan kepada Mahkamah Internasional, yang ditandatangani pada tanggal 31 Mei 1997. Oleh karena itu Pemerintah Indonesia menerima keputusan Mahkamah Internasional tersebut sebagai final dan mengikat.
(Pernyataan Pers Hassan Wirajuda Tentang Keputusan Kasus Sipadan dan Ligitan)
 Belajar dari masalah Sipadan dan Ligitan maka diperlukan suatu pemahaman mengenai konsep kepulauan Indonesia yang lazim disebut dengan Wawasan Nusantara serta implementasinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini penting untuk menjaga keutuhan wilayah Republik Indonesia sebagai satu kesatuan yang utuh yang terbentang dari ujung barat, sabang ke ujung timur, merauke.

B.    RUMUSAN MASALAH

1.      Apa Pengertian dan Sejarah singkat Wawasan Nasional ?
2.      Apa Kaitan kasus Ambalat dengan Wawasan Nasional ?
3.      Bagaimana Hikmah dan Solusi kasus Ambalat kaitannya dengan Implementasi Wawasan Nusantara ?









BAB II
PEMBAHASAN


Menilik semua permasalahan diatas semua berawal dari konsep dan implementasi dari wawasan nusantara. Dalam rangka menerapkan wawasan nusantara, kita sebaiknya terlebih dahulu mengerti dan memahami pengertian ,ajaran dasar, hakikat ,asas, kedudukan dan fungsi serta tujuan wawasan nusantara.

A.  Pengertian dan sejarah singkat timbulnya wawasan nusantara             
 1. Pengertian Wawasan Nusantara
                  Istilah wawasan nusantara berasal dari kata wawas yang berarti pandangan, tinjauan, atau penglihatan inderawi.
Istilah wawasan berarti cara pandang, cara tinjau, atau cara melihat.
Sedangkan istilah nusantara berasal dari kata “nusa” yang berarti pulau-pulau, dan “antara” yang berati diapit di antara dua hal.
Secara unum wawasan nasional berarti cara pandang suatu bangsa tentang diri dan lingkungannya yang dijabarkan dari dasar falsafah dan sejarah bangsa itu sesuai dengan posisi dan kondisi geografi negaranya untuk mencapai tujuan atau cita-cita nasionalnya.
Wawasan nusantara mempunyai arti cara pandang bangsa Indonesia  tentang diri dan lingkungannya berdasarkan pancasila dan UUD 1945 serta sesuai dengan geografi wilayah nusantara yang menjiwai kehidupan bangsa dalam mencapai tujuan dan cita-cita nasionalnya.

B.     Kaitan Kasus Ambalat dengan Wawasan Nusantara
Indonesia sebagai sebuah bangsa yang besar dan wilayah yang luas baik darat maupun lautan memiliki tantangan tersendiri untuk menjaga keutuhan dan persatuan serta kesatuan wilayahnya. Berbagai ancaman, hambatan, tantangan dan gangguan baik yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri dapat mengancam keutuhan bangsa dan Negara Indonesia. Hal yang berkaitan dengan konsep wawasan nusantara serta implementasinya salah satunya mengenai persengketaan berkaitan dengan daerah perbatasan antar Negara. Seperti hal yang sangat marak baru-baru ini yaitu sengketa antar dua negara serumpun, Indonesia-Malaysia mengenai daerah perbatasan di wilayah Ambalat.
   Adapun latar belakang yang memunculkan masalah tersebut yaitu Pemberian konsesi eksplorasi pertambangan di Blok ND7 dan ND6 dalam wilayah perairan Indonesia. Tepatnya di Laut Sulawesi, perairan sebelah timur Kalimantan oleh perusahaan minyak malaysia, petronas kepada PT Shell, pada tanggal16 Februari 2005. Padahal Pertamina dan Petronas sudah lama saling mengklaim hak atas sumber minyak dan gas di Laut Sulawesi dekat Tawau, Sabah yang dikenal dengan East Ambalat. Kedua perusahaan minyak dan gas itu sama-sama menawarkan hak eksplorasi ke perusahaan asing. Blok Ambalat diperkirakan memiliki kandungan 421,61 juta barel minyak dan gas 3,3 triliun kaki kubik.
Pemberian konsesi minyak oleh Malaysia tersebut menimbulkan reaksi dari berbagai pihak di Indonesia. klaim tersebut dilakukan Malaysia dengan argumentasi peta tahun 1979 yang diterbitkan secara sepihak oleh Malaysia. dan menurut Marty Natalegawa "Jangankan Indonesia, negara lain saja sudah protes atas penerbitan peta itu, karena mengubah wilayah perairan di Asia Tenggara,".Protes terhadap peta itu sudah dilakukan sejak Tahun 1980 dan tetap dilakukan secara berkala. Indonesia sendiri telah memberikan konsesi minyak kepada beberapa perusahaan minyak dunia di lokasi ini sejak tahun 1960-an tanpa ada keberatan dan protes dari negara lain. "Karena memang dilakukan di wilayah Indonesia," kata Marty.
Malaysia semula mengklaim memiliki wilayah perairan Indonesia lebih dari 70 mil dari batas pantai Pulau Sipadan dan Ligitan. Belakangan Malaysia memperluas wilayahnya sampai sejauh dua mil. Dengan demikian, total luas wilayah Indonesia yang telah "dicaplok" Malaysia adalah 15.235 kilometer persegi. Adapun titik awal penarikan garis batas pengakuan dimulai dari garis pantai Pulau Sebatik, Kaltim.
Salah satu bukti kesewenang-wenangan Malaysia yang lain adalah mencantumkan kawasan Karang Unarang ke dalam wilayah perairan Malaysia pada peta terbaru yang dikeluarkan pemerintahan pimpinan Perdana Menteri Datuk Seri Abdullah Ahmad Badawi. Padahal selama ini Karang Unarang berada di kawasan Indonesia. Pengakuan tersebut kontan ditolak Indonesia. Alasannya, Malaysia bukan negara kepulauan dan hanya berhak atas 12 mil dari garis batas pantai Pulau Sipadan dan Ligitan. Patut diketahui, konsep Wawasan Nusantara atau status Indonesia sebagai negara kepulauan telah diakui dalam Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1982 (UNCLOS 1982).
Kontan saja, tindakan sepihak ini menuai tanggapan yang beragam dari seluruh lapisan masyarakat Indonesia, dari mulai demo, sikap untuk melakukan diplomasi, hingga sikap keras untuk melakukan perang terbuka.
Tindakan pemerintah Malaysia yang mengklaim blok perairan Ambalat sebagai wilayah teritorial negaranya telah memicu sikap dan tindakan "reaksi" dari berbagai komponen masyarakat Indonesia. Bahkan, banyak anggota masyarakat yang siap mengikrarkan diri sebagai korps sukarelawan apabila konflik klaim wilayah perairan Ambalat termanifestasi menjadi perang terbuka. Perasaan sakit hati masyarakat (bangsa) Indonesia tersebut sesungguhnya merupakan akumulasi kekecewaan dan tumpukan rasa sakit hati atas berbagai kebijakan pemerintah Malaysia yang begitu antikemanusiaan dan antipenghargaan martabat bangsa lain (khususnya bangsa Indonesia). Dari kasus TKI, di mana pemerintah Malaysia lebih banyak bertindak represif dan seolah menempatkan para TKI asal Indonesia sebagai "budak belian" yang disia-siakan. Juga kasus lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan melalui keputusan ICJ (International Court Justice) tahun 2002, menjadi inspirasi sentimen nasionalisme bangsa ini.
Perkembangan kasus Ambalat sendiri, saat ini telah menaikkan ketegangan hubungan diplomatik antara Malaysia dan Indonesia, meski dalam strategi politik media di Malaysia kasus klaim Ambalat sengaja ''didinginkan'' agar publik Malaysia tidak terlibat jauh dalam sengketa politik tersebut.
Ada beberapa sikap masyarakat di dalam negeri Indonesia yang merespons kasus Ambalat. Pertama, sikap anti-Malaysia dalam pengertian politik. Sikap ini ditunjukkan oleh kalangan nasionalis dan masyarakat awam yang sebenarnya memiliki perasaan sakit hati atas kebijakan politik pemerintah Malaysia dalam kasus TKI. Sikap ini ditunjukkan dalam berbagai demonstrasi dengan isu "Ganyang Malaysia". Kedua, sikap kritis dan rasional. Sikap ini mencoba mengkritisi kasus Ambalat sebagai bentuk sengketa kewilayahan antardua negara tetangga karena perbedaan sudut pandang politik kemaritiman dan juga kepentingan ekonomi-politik. Sikap ini ditunjukkan oleh kalangan cerdik pandai di Indonesia yang memposisikan kasus Ambalat setara dengan kasus-kasus sengketa batas wilayah atau klaim teritorial seperti Kepulauan Spratly, yang diperebutkan lima negara asia. Ketiga, sikap kritis-progresif. Sikap ini ditunjukkan
Oleh berbagai komponen gerakan mahasiswa yang mencoba membaca kasus Ambalat sebagai bentuk pertaruhan harga diri bangsa dan negara dari deraan kepentingan ekonomi-politik neo-imperalisme.Sikap kritis-progresif kalangan gerakan mahasiswa -- yang terekspresi dalam berbagai aksi, demonstrasi, pernyataan sikap -- tersebut dilandasi oleh kerangka berpikir bahwa kasus konflik Ambalat sebenarnya merupakan konflik kepentingan rezim neo-liberalisme dan neo-imperalisme yang terwakili berbagai serikat perusahaan minyak global yang ingin mengeksploitasi sumber daya minyak di gugus perairan Ambalat (East Ambalat). Yakni antara perusahaan minyak UNOCAL (AS) dan ENI (Italia) yang telah menjalin kontrak dengan pemerintah Indonesia, diwakili Pertamina melawan perusahaan SHELL (Inggris-Belanda) yang telah menjalin kontrak kerja sama dengan pemerintah Malaysia,yang telah menjalin kontrak kerja sama dengan pemerintah Malaysia, yang diwakili "mitra bisnisnya'', yakni Petronas.Dalam catatan pengamat politik Riswanda Imawan, sengketa perairan Ambalat merupakan medan "pertempuran'' kepentingan antarperusahaan kapitalis minyak di atas untuk memperebutkan sumber daya minyak dan gas yang ada di dasar perairan Ambalat. Dalam konteks demikian sebenarnya konflik Ambalat adalah pertentangan kepentingan antarperusahaan minyak global dengan memanfaatkan politik intervensi pemerintah Malaysia yang mungkin memiliki sikap berani berkonflik melawan pemerintah Indonesia, yang saat ini lemah secara politik, ekonomi dan kekuatan persenjataan karena deraan praktik korupsi serta krisis ekonomi sejak akhir kekuasaan Orde Baru.
 Sikap masyarakat Indonesia sangat wajar, mengingat luka akan lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan masih belum hilang. Selain itu, hingga saat ini, pihak Malaysia tidak pernah berniat baik dalam menyelesaikan permasalahan perbatasan dengan negara tetangga. Sikap arogansi Malaysia ini dicerminkan oleh ditetapkannya peta wilayah buatan Malaysia tahun 1979 secara sepihak dan dengan gampangnya memasukkan wilayah negara lain sebagai wilayahnya, seperti wilayah Indonesia, China, Filipina, Thailand, Vietnam, serta Inggris yang mengatasnamakan Brunei Darussalam.
Sebagaimana Indonesia, negara-negara yang wilayahnya diklaim oleh Malaysia melakukan protes keras. Ironisnya, hingga saat ini pihak Malaysia belum menuntaskan masalah ini secara penuh. Padahal, klaim suatu wilayah secara sepihak tidak dibenarkan oleh ketentuan internasional sebagaimana tertuang dalam hukum laut internasional (UNCLOS 1982).
Dengan kata lain, apabila suatu wilayah negara pantai berhadapan (opposite) atau berdampingan (adjacent) dengan negara lain, maka negara tersebut harus melakukan perundingan untuk mencapai persetujuan. Hal ini sebagaimana yang terjadi pada keputusan Mahkamah Internasional 18 Desember 1951 dalam kasus perikanan atau yang dikenal dengan Anglo norwegian fisheries case antara Inggris dan Norwegia. Pada kasus itu disebutkan, bahwa delimitasi batas wilayah laut tidak hanya bergantung pada kehendak sepihak satu negara pantai saja yang dituangkan dalam undang-undang nasionalnya, melainkan keabsahannya delimitasi batas wilayah laut harus didasarkan pada hukum internasional.
Sementara itu yang patut diingat dalam menuntaskan permasalahan sengketa Ambalat, di samping show of force militer, Pemerintah Indonesia juga harus menyiapkan strategi jitu secara diplomatik agar tidak kembali menelan kekalahan seperti dalam persidangan kasus sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan. Akankah kedaulatan wilayah kita yang disatukan oleh lautan kembali terlepas dari pangkuan Ibu Pertiwi?
Perjuangan Indonesia untuk memperoleh pengakuan sebagai negara kepulauan merupakan sebuah perjalanan panjang yang sangat melelahkan. Hal ini dikarenakan usaha-usaha untuk memasukkan rezim kepulauan selama diadakan Konferensi Kodifikasi Den Haag tahun 1930 dan Konferensi Hukum Laut di Jenewa tahun 1958 selalu mengalami kegagalan. Di samping tidak adanya kesepakatan mengenai pengertian negara kepulauan, kegagalan tersebut dipengaruhi oleh berbagai kepentingan antarnegara, khususnya negara-negara maritim besar yang ingin terus menancapkan hegemoninya di wilayah laut.
Mochtar Kusumaatmadja (2003) menyebutkan, sekurang-kurangnya ada empat golongan yang berkepentingan dengan prinsip-prinsip negara kepulauan, yaitu: Pertama, negara-negara tetangga, yakni anggota-anggota ASEAN dan negara-negara tetangga lainnya, termasuk Australia. Kedua, negara yang berkepentingan terhadap perikanan dan pemasangan kabel komunikasi di dasar laut, seperti Jepang yang melakukan kegiatan perikanan di Perairan Indonesia sejak sebelum perang. Ketiga, negara maritim yang berkepentingan terhadap lalu lintas pelayaran laut. Dalam golongan ini termasuk negara- negara Eropa Barat yang memiliki armada niaga besar dan maju. Keempat, negara maritim besar yang mempunyai kepentingan terhadap strategi militer, seperti Amerika Serikat dan Rusia.
Sementara itu jauh sebelum bergabungnya Indonesia, Filipina, Fiji, dan Mauritus sebagai negara pendukung asas-asas kepulauan pada akhir tahun 1972, Pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 13 Desember 1957 mengeluarkan suatu deklarasi tentang wilayah Perairan Indonesia yang dikenal dengan istilah Deklarasi Djuanda. Deklarasi ini mengubah batas laut teritorial Indonesia dari 3 mil berdasarkan Territoriale Zee en Maritime Kringen Ordonnantie (TZMKO) 1939 menjadi 12 mil. Artinya, bagian laut yang sebelumnya termasuk laut lepas (high seas), sekarang menjadi laut teritorial Indonesia, seperti Laut Jawa yang terletak antara Pulau Kalimantan dan Pulau Jawa.
Untuk memperkuat Deklarasi Djuanda 1957 dan melaksanakan konsepsi Wawasan Nusantara, maka Pemerintah Republik Indonesia menetapkan Perpu Nomor 4 Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia yang kemudian diganti oleh UndangUndang No 6/1996. Dalam perkembangan selanjutnya, konsepsi negara kepulauan akhirnya mendapat pengakuan pada Konvensi Hukum Laut 1982.
Dimasukannya poin-poin negara kepulauan dalam Bab IV UNCLOS 1982 yang berisi 9 pasal, bagi seluruh rakyat Indonesia hal ini memiliki arti penting karena selama 25 tahun secara terus-menerus Pemerintah Indonesia memperjuangkan asas-asas negara kepulauan. Pengakuan resmi asas negara kepulauan ini merupakan hal yang penting dalam rangka mewujudkan satu kesatuan wilayah yang utuh sesuai dengan Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957 dan Wawasan Nusantara sebagaimana termaktub dalam TAP MPR tentang Garis-garis Besar Haluan Negara yang menjadi dasar bagi perwujudan kepulauan Indonesia sebagai satu kesatuan politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan.
Berdasarkan informasi yang berkembang, mencuatnya konflik Malaysia-Indonesia di Perairan Sulawesi disebabkan salah satunya oleh kesalahan Malaysia dalam melakukan penarikan garis pangkal (base line) pascasidang kasus Sipadan-Ligitan. Sejak beralihnya kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan, pihak Pemerintah Malaysia menempatkan dirinya sebagai negara kepulauan (archipelagis state), yang kemudian menggunakan garis pangkal lurus kepulauan (straight archipelagic baseline) dalam penentuan batas wilayahnya sehingga wilayah perairannya menjorok jauh ke selatan, mengambil wilayah perairan Indonesia.
Dengan dasar itu, materi yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah, benarkah Malaysia merupakan negara kepulauan sebagaimana yang dipersyaratkan dalam UNCLOS 1982?
Secara umum, definisi yang diberikan UNCLOS 1982 terhadap negara kepulauan ialah negara-negara yang terdiri atas seluruhnya dari satu atau lebih kepulauan. Selanjutnya ditentukan, bahwa yang dimaksud dengan kepulauan adalah sekumpulan pulau-pulau, perairan yang saling bersambungan (inter-connecting water) dan karakteristik alamiah lainnya dalam pertalian yang demikian erat sehingga membentuk suatu kesatuan intrinsik geografis, ekonomis, dan politis atau secara historis memang dipandang sebagai demikian (Pasal 47). Dengan demikian, Malaysia tidak dibenarkan menggunakan garis pangkal lurus kepulauan karena mereka tidak berstatus sebagai negara kepulauan.
Selain itu, klaim Malaysia juga didasarkan pada konsepsi Landasan Kontinen (continental shelf) yang merupakan kelanjutan alamiah (natural prolongation) dari wilayah daratannya sampai pada ujung luar dari tepian kontinen atau sampai pada jarak 200 mil laut dari garis pangkal. Ironisnya, lagi- lagi Malaysia keliru, karena Indonesia sebagai negara kepulauan yang berhak melakukan penarikan garis pangkal dari ujung luar batas pulau-pulaunya, maka batas laut teritorial bagian utara pulau Jawa berada di Lautan Sulawesi.

C. Hikmah dan Solusi  Kasus Ambalat Kaitannya dengan Implementasi Wawasan   Nusantara
Lepasnya Sipadan dan Ligitan ke tangan Malaysia, dan kini Blok Ambalat dalam klaimnya juga, secara hukum sebenarnya akibat kelalaian Indonesia yang tidak segera menetapkan batas terluar kepulauan Indonesia, terutama sejak rezim hukum negara kepulauan mendapat pengakuan dari masyarakat internasional melalui Konvensi Hukum Laut (KLH) 1982. Bab IV KLH, 1982 (Pasal 46 hingga Pasal 54) mengatur tentang Negara Kapulauan (Archipelagic States) Indonesia telah meratifikasi KLH 1982 melalui UU No. 17 Tahun 1985.
Namun, ratifikasi KLH 1982 ternyata dalam perkembangannya tidak segera diikuti dengan langkah-langkah tindak lanjut sebagai penjabarannya ke dalam peraturan perundang-undangan nasional. Kondisi tersebut sebenarnya kurang menguntungkan bagi Indonesia, karena berarti Indonesia belum dapat mengambil manfaat dari adanya perubahan dan atau pembaruan di bidang pengaturan atas laut khususnya yang diatur dalam Bab IV KLH 1982 tentang Negara Kapulauan.
Rezim hukum "negara kepulauan" Indonesia yang telah diperjuangkan dengan susah payah sejak deklarasi Juanda 1957, harus dijaga keutuhannya dan dipertahankan eksistensinya, bila perlu dengan mengerahkan kekuatan bersenjata dan seluruh rakyat Indonesia. Aksi Malaysia dengan klaimnya atas Blok Ambalat merupakan tamparan nyata terhadap kedaulatan teritorial "negara kepulauan" Indonesia. Aksi tersebut tidak boleh dibiarkan menjadi kenyataan. Tunjukkan dan tegaskan baik secara "faktual" maupun "yuridis" bahwa Blok Ambalat adalah milik Indonesia.
Pengaturan masalah kelautan bagi pemerintah Republik Indonesia merupakan hal yang penting dan mendesak mengingat bentuk geografi Republik Indonesia sebagai suatu negara kepulauan yang terdiri dari 17.508 pulau dengan sifat dan corak tersendiri. Hal tersebut sesuai dengan amanat pembukaan UUD 1945 bahwa, "Pemerintah Republik Indonesia berkewajiban melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia".
Penetapan batas-batas laut teritorial selebar 3 mil dari pantai sebagaimana terdapat dalam Territiriale Zee en Maritieme Kringen-Ordonnantie 1939 (TZMKO 1939) Pasal 1 ayat 1 tidak sesuai lagi dengan kepentingan keselamatan dan keamanan negara Republik Indonesia. Demi kesatuan wilayah negara Republik Indonesia, semua pulau-pulau serta laut yang terletak di antaranya harus dianggap sebagai satu kesatuan yang bulat.
Untuk mewujudkan tujuan tersebut, pada tanggal 13 Desember 1957, Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan suatu pernyataan mengenai wilayah perairan Indonesia (deklarasi Juanda). Deklarasi tersebut yang di dalamnya mengandung konsepsi nusantara menimbulkan konsekuensi bagi pemerintah dan bangsa Indonsia untuk memperjuangkan dan mempertahankannya hingga mendapat pengakuan dari masyarakat internasional.
Deklarasi Juanda 1957 mendapat tantangan dari negara-negara yang saat itu merasa kepentingannya terganggu seperti Amerika Serikat, Australia, Inggris, Belanda dan New Zealand dengan menyatakan tidak mengakui klain Indonesia atas konsepsi nusantara. Negara yang mendukung pernyataan Indonesia mengenai konsepsi nusantara hanya Uni Soviet dan Republik Rakyat Cina.
Tapi dalam visi dan orientasi pembangunan, khususnya sejak Orba, kita melupakan visi dan orientasi negara kepulauan ini dan lebih berorientasi tanah daratan (land based oriented) yang mengakibatkan kita bersifat inward looking. Tanpa orientasi kepulauan, seperti dikatakan Dimyati Hartono, kita tidak punya national security belt, yakni titik-titik kawasan strategis bagi mengamankan kewilayahan dan kedaulatan negara. Setiap titik itu bukan saja menjadi pos pertahanan tetapi juga dikembangkan ekonomi dan sarana-prasarana pendidikannya sehingga kawasan-kawasan titik ini dengan sendirinya akan terbangun sistem peringatan dini (early warning system). Dengan orientasi kepulauan, Indonesia akan membangun dengan pandangan integratif darat, laut dan udara. Dan orientasi ini akan membuat kita lebih outward looking.
Dalam menghadapi sengketa dan konflik daerah perbatasan ada beberapa model dan pola yang pernah dan dapat dilakukan untuk mengatasinya seperti dijelaskan dalam Pasal 33 Piagam PBB tentang Hukum Laut Internasional bahwa bila tak bisa diselesaikan secara bilateral, ada pelbagai alternatif, misalnya mediator, arbitrator dan mekanisme regional. Dalam kasus Ambalat, Malaysia pasti tak akan menggunakan mekanisme regional di ASEAN, karena dia punya persoalan dengan semua negara tetangganya seperti Singapura, Vietnam, Brunei Darusalam, Filipina dan Thailand mengenai batas laut. Malaysia takut semua anggota ASEAN berpihak ke Indonesia.
Bila perundingan bilateral menemui jalan buntu, bisa dipilih solusi joint development, di mana Indonesia termasuk pelopor dalam penggunaan mekanisme itu. Pada 1989, setelah bertahun-tahun menemui jalan buntu, kita sepakat tak membuat garis batas dengan Australia di Celah Timor. Kita menyepakati membuat joint development dengan melakukan kerja sama ekonomi di wilayah yang disengketakan. Model joint development banyak mendapat pujian dari dunia dan konsep ini akhirnya ditiru negara-negata lain.
Sebagai negara kepulauan, kita mempunyai persoalan dalam menjaganya karena saat kemerdekaan, laut kita cuma 3 mil dari pantai. Jadi luas laut kita tak lebih dari 100 ribu kilometer persegi. Setelah konsep wawasan nusantara diterima dunia, dan mendapat tambahan ZEE 200 mil, total laut kita menjadi 6 juta kilometer persegi.
Dengan demikian, dengan alasan apa pun, klaim wilayah di Blok Ambalat dan Blok East Ambalat tidak dibenarkan oleh hukum laut internasional. Apalagi Indonesia diperkuat oleh serentetan sejarah yang mencatat bahwa perairan di Ambalat masuk ke dalam wilayah pengaturan Kerajaan Bulungan. Namun, langkah yang juga harus segera ditempuh oleh Pemerintah Indonesia adalah segera perbaiki dan depositkan PP No 38/2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia ke Sekjen PBB untuk dicatatkan sebagai bukti dalam penguasaan wilayah. Semoga usaha diplomasi yang kuat dan terukur dapat mempertahankan kedaulatan keutuhan Negeri Bahari yang kita cintai.
 Persengketaan atas wilayah Ambalat membutuhkan penyelesaian yang logis, relevan, tanpa merugikan pihak manapun apalagi sampai menimbulkan peperangan. Jika terjadi kontak senjata antar Angkatan Laut maka masing-masing negara bersengketa RI-Malaysia mengalami kerugian. Diusahakan sedapat mungkin persengketaan atas wilayah Ambalat dapat diselesaikan secara damai.
Sebuah sentilan mengenai kasus sipadan, ligitan, dan yang terakhir adalah ambalat, harusnya menyadarkan kita bahwa kita telah jauh dari konsep wawasan nasional yang merupakan landasan visional bangsa dan Negara Indonesia.
Berkaitan dengan masalah perbatasan ini kaitannya dengan Wawasan Nusantara, penulis menawarkan solusi untuk menilik kembali kepada diri kita masing-masing harusnya setiap warga Negara Indonesia perlu memiliki kesadaran untuk:
1.      Mengerti, memahami, dan menghayati hak dan kewajiban warga Negara serta hubungan warga Negara dan Negara, sehingga sadar sebagai bangsa Indonesia yang cinta tanah air berdasarkan pancasila, UUD 1945, dan Wawasan Nuasantara
2.      Mengerti, memahami, dan menghahayati bahwa di dalam menyelenggarakan kehidupannya Negara memerlukan konsepsi wawasan nusantara, sehingga sadar sebagai earga Negara memiliki wawasan nusantara guna mencapai cita-cita dan tujuan nasional
Indonesia harus lebih jeli dalam melihat setiap wilayahnya yang berbatasan dengan Negara lain, dan tentu apapun yang berkaitan dengan hal ini dibutuhkan bukti autentik. Indonesia harus belajar dari kasus Sipadan Ligitan agar wilayah Indonesia tetap merupakan satu kesatuan utuh yang berlandaskan kebhinekaan.































BAB III
PENUTUP

A.          KESIMPULAN
          Masalah perbatasan wilayah antar Negara merupakan salah satu bentuk ancaman bagi keutuhan wilayah Nusantara. Kasus ambalat harusnya menyadarkan bangsa Indonesia bahwa kita sudah jauh dari Konsep Wawasan Nusantara dan Juga kelalaian Indonesia yang tidak segera menetapkan batas terluar kepulauan Indonesia . Selama ini wawasan nusantara hanya jadi sebuah slogan tanpa adanya implementasi yang jelas dalam berbagai segi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Untuk mengetuk hati nurani setiap warga Negara Indonesia agar sadar bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, diperlukan pendekatan dengan program yang teratur, terjadwal dan terarah. Hal ini akan mewujudkan keberhasilan dan implementasi wawasan nusantara. Dengan demikian wawasan nusantara terimplementasi dalam kehidupan nasional guna mewujudkan ketahanan nasioanal dalam rangka menjaga keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

B.           KRITIK DAN SARAN
 Bagi para pembaca sekalian jika ingin menambah wawasan dan ingin mengetahui lebih jauh, maka penulis mengharap dengan rendah hati agar lebih membaca buku-buku tentang Wawasan Nusantara.

            Kritik dan saran yang membangun selalu kami harapkan demi perbaikan dan kesempurnaan makalah ini, karena makalah ini masih jauh dari kata sempurna.













DAFTAR PUSTAKA

1.      Agoes, Etty, R., 1988. masalah  sekitar Ratifikasi dan Implementasi konvensi hukum Laut 1982. Universitas Katolik Parahyangan, Bandung.
2.      Djalal, Hasyim., 1979, Perjuangan Indonesia di bidang Hukum Laut. Bina Cipta, Bandung.
3.      Prasetianingsih, Yuli. Membaca Sengketa Ambalat dengan Reaktualisasi Nasionalisme. http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2005/3/18/o2.htm
4.      _________.____.Pendidikan Kewarganegaraan.Gramedia Pustaka Utama.Jakarta.
http://id.wikipedia.org/wiki/Wawasan_Nusantara